Simalungun, Radar24Jam
Seorang warga Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mengeluhkan pelayanan dan sistem pencatatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai sangat merugikan masyarakat. Pasalnya, ia dituduh menunggak pembayaran PBB selama 21 tahun, padahal sudah melunasi seluruh kewajibannya hingga tahun 2024, lengkap dengan bukti kuitansi pembayaran.
Kasus ini mencuat ketika warga Tanjung Maraja bermarga Lumbanraja hendak mengurus balik nama sertifikat tanah milik orang tuanya yang telah meninggal dunia. Saat proses administrasi dilakukan melalui notaris, muncul informasi bahwa tanah tersebut memiliki tunggakan PBB sejak tahun 1996 hingga 2025, dengan total 21 tahun dan dikenakan denda
Jadi total yang mau dibayar sebesar Rp1.125.000.
"Saya terkejut karena kami punya kuitansi asli bukti pelunasan pajak sampai tahun 2024. Pajak itu setiap tahun dibayarkan ke Gamot atau kepala dusun. Kenapa bisa disebut menunggak?" ujarnya dengan nada kecewa. Ia pun mempertanyakan sistem pencatatan pajak yang dinilai tidak transparan dan membingungkan.
Warga itu kemudian mendatangi Kantor Keuangan Pajak Kabupaten Simalungun pada Kamis, 8 Mei 2025, untuk mencari kejelasan. Pegawai bernama Boru Saragih menjelaskan bahwa pencatatan PBB oleh pihaknya baru dimulai dari tahun 2013. Sebelumnya, pengelolaan PBB berada di bawah Kantor Pajak Pratama, sehingga mereka tidak memiliki data sebelum tahun tersebut.
“Kalau ada bukti pelunasan pajak PBB, silakan minta sama Pangulu atau kepala dusun/Gamot nagori setempat,”.Ujar Boru Saragih. Pernyataan ini makin menunjukkan lemahnya sistem koordinasi dan integrasi data antar lembaga pemerintahan dalam pengelolaan pajak.
Situasi ini menjadi sinyal peringatan bagi masyarakat agar lebih waspada. Ternyata, meskipun telah membayar PBB, jika data tidak tercatat di database Kantor Pelayanan Pajak, seseorang masih bisa dianggap menunggak dan dikenakan denda. Hal ini tidak hanya merugikan warga tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap pemerintah daerah.
Warga berharap agar Bupati Simalungun segera mengevaluasi sistem pembayaran dan pencatatan PBB, serta memperketat pengawasan terhadap potensi permainan kotor atau mafia pajak yang mungkin terjadi dari level nagori hingga ke dinas. "Kami butuh keadilan dan kepastian hukum sebagai wajib pajak yang patuh,”.Pungkas Lumbanraja.
Kasus ini menjadi bukti bahwa reformasi birokrasi dalam sistem perpajakan daerah masih sangat dibutuhkan. Integrasi data yang transparan, aksesibilitas publik, serta pengawasan yang ketat harus segera diterapkan agar tidak makin banyak warga yang menjadi korban sistem yang lemah.
( Tim DeLTa)
0 Komentar