Dampak Hoaks Politik Era Post Truth Terhadap Konflik Dan Ketahanan Nasional.


Medan, Radar24Jam       
                              

Istilah post-truth menurut Kamus Oxford dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.


Masalahnya media informasi alternatif sejenis facebook atau media sosial lainnya tidak selalu informasi/berita yang benar.


Perkembangan era digital dewasa ini ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Fenomena ini merupakan konsekuensi perubahan pola komunikasi dengan cara-cara dari media konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian. 


Media sosial merupakan alat komunikasi digital yang dapat membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif media sosial berkontribusi dalam menyediakan informasi secara cepat dan akurat.


Di sisi lain, dapat berdampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dalam hal penyebaran ideologi radikal, pornografi, perdagangan narkoba, organized crime dan aktivitas negatif lainnya yang dapat melunturkan ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Secara sederhana, post-truth diartikan sebagai fenomena sosial ketika manusia bingung memilah dan memilih mana data dan fakta yang benar untuk disikapinya. Sering kali pikiran kita dibingungkan oleh berita hoaks yang bertebaran ditambah dengan fenomena flexing (pamer kemewahan) untuk menambah harumnya bumbu bagi praktik bisnis di era digital yang curang. Praktik ini jauh dari memenuhi etika berbisnis yang benar.


Terkait politik, disinformasi di era post-truth merupakan ancaman serius bagi terbangunnya demokrasi elektoral yang sehat. Legitimasi atas sebuah kebenaran tidak berdasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi, tetapi pada keyakinan personal dan affect atau sesuatu yang menyentuh emosi dan rasa. Akibatnya, kebohongan dan kebenaran menjadi sulit diidentifikasi. Praktik-praktik dis-informasi berbasis kebohongan dan kepalsuan ini kemudian tersebar dengan bentuk yang lebih beragam berkat kemunculan media sosial.


Disinformasi yang diwarnai ujaran-ujaran kebencian di ruang media lambat laun mengakibatkan polarisasi politik menjadi semakin tajam dan kohesi sosial menjadi terancam.


Menyikapi hal itu, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan, dalam buku Demokrasi di Era Post Truth, memperlihatkan bahwa media sosial memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan pihak tertentu secara negatif tanpa dasar yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat. Oleh karena itu, praktik-praktik politik di era post-truth membawa dampak negatif terkikisnya tradisi perdebatan yang sehat di masyarakat, terjadinya kebuntuan politik, ketidakpastian suatu kebijakan, bahkan dapat menjadikan masyarakat mengalienasi diri dari dinamika politik. Menurut Pengamat Komunikasi Politik dan Intelijen Keamanan Dr.Susaningtiyas Kertopati, fenomena post-truth lekat dengan politik, dan di Indonesia dengan masyarakat yang terpolarisasi dapat berekskalasi menjadi tindak kekerasan. 


Di Indonesia, post-truth berbaur dengan politik identitas, khususnya sentimen agama dan etnis. Hal ini berpotensi mengancam stabilitas keamanan nasional yang mana di tengah masyarakat yang terpolarisasi akibat dukungan politik dan politisasi SARA.


Apalagi sekarang siapapun bisa menjadi jurnalis menjadi produsen konten di media sosial walaupun tidak diakui (secara formal) seperti media mainstream. Termasuk masyarakat yang mempunyai niat jahat dan yang tidak punya rasa tanggung jawab sehingga ini menjadi kontribusi penyebar hoax 

terbesar sekarang ini. Seperti contoh postingan facebook salah satu warga yang momposting hoax pada tanggal 25 Maret 2019 “ kok tumben ya gak ada suara azan di masjid gilimanuk, apa jadinya jika ada larangan kumandang azan dalam waktu yang lama, ngeri ah bisa hancur tanah air tercinta, jangan diteruskan ah 2 priode”. Postingan ini dengan sengaja menyebar hoax dengan menggunakan politik identitas berupa agama untuk memancing konflik. 

Jika tidak di klarifikasi maka konflik skala besar akan terjadi yang mengancam ketahanan nasional. Apabila ketahanan nasional rapuh maka dapat memicu terjadinya konflik yang dapat memicu disintegrasi bangsa sehingga proses pembangunan Nasional menjadi terhambat. Contoh peristiwa, belajar dari peristiwa Arab Spring seperti di Syiria, negara tersebut terkoyak-koyak akibat berita hoaks di era post-truth yang terjadi dalam konflik politik antara rezim yang berkuasa Bashar Al- Assad dengan kelompok oposisi.


Masyarakat Syiria terperosok ke dalam kubangan hoaks, tanpa melakukan klarifikasi dan verifikasi atas berita yang diterima (tanpa tabayyun), melainkan mereka langsung menyerap mentah-mentah semua informasi itu yang cenderung mengadu domba antara kelompok Islam Sunni dengan kelompok Islam Syiah. Informasi yang beredar langsung diserap menjadi asumsi personal dan membentuk opini yang bersifat dangkal dan subjektif sehingga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya menimbulkan perpecahan.


Konflik politik yang terjadi di Syiria dan negara-negara Arab Spring lainnya pada era post-truth ini patut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan dapat memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan.


Pemanfaatan media sosial guna kepentingan politik banyak disalahgunakan oleh sebagian orang tertentu untuk merebut perhatian dan simpati masyarakat. Media sosial yang seharusnya digunakan untuk melakukan literasi agar masyarakat Indonesia paham tentang politik dan mengetahui hak dan kewajibannya dalam bidang politik, justru oleh sebagian orang digunakan sebagai media propaganda dan provokasi untuk menjatuhkan lawan politik. Inilah yang disebut dengan hoaks politik yaitu berita bohong tentang politik yang digunakan sebagai propaganda untuk memprovokasi masyarakat agar terpengaruh sesuai konten berita, hal ini populer terjadi di era post-truth.


Dalam era post-truth ini, terutama memasuki tahun politik Pemilu, penyebaran berita hoaks politik menjadi isu yang berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) hingga ujaran kebencian dapat memperlemah ketahanan nasional, jika ketahanan nasioanal kita lemah maka bisa terjadi konflik disintegrasi bangsa, dan bisa mengacam keutuhan NKRI.


 *Penulis: DR. Freddy Sitinjak, SH.,MH. (Dosen Unhan, Hakim Adhoc). Medan.*

Damanik 

Posting Komentar

0 Komentar